3 hal tersulit yang harus dikatakan

Diinspirasi oleh ucapan kakek tadi malam:

“Kalau kalian potong nadi Bapak ini, boleh kalian timbang dan ambil, bagi rata. Memangnya seberapa jauh kalian bisa minta sama Tuhan untuk menggantikan doa kami selama ini untuk kalian? Kalau kalian pergi dari rumah inipun tanpa tempat berteduh, hati kami menangis, Amang.”

Dan didedikasikan untuk kedua orang tua saya:

“Saya percaya bahwa saya ditempatkan dalam keluarga yang tepat. Bukan karena kebetulan, tapi kami disatukan karena Tuhan mau kami saling melengkapi.”

Hidup dan dibesarkan jauh dari orangtua dan bersikeras untuk menjalani hidup saya dengan bekal kepercayaan dari mereka, berdampak bagi karakter dan prinsip yang terbangun. Mengerti bahwa setiap detik dalam hidup mereka, mereka tujukan bagi saya dan adik-adik saya, merupakan suatu pengalaman batin yang mengharukan.

Saya ingat suatu kali ibu saya sewaktu saya masih kecil tertawa keras saat saya mengucapkan ejaan pertama saya, yaitu “S-O so, L-O lo, Solo” ketika saya membaca tulisan di termos. Juga ketika beliau mengajak saya ke Kebun Binatang untuk yang pertama kalinya, beliau menunjuk komplek gedung di depannya dan berkata “Mama pengen banget dulu masuk sini, tapi Mama ga bisa. Semoga ada anak Mama yang  bisa masuk sini.”

Pernah juga ketika ibu saya menggendong saya dan akibat keteledoran beliau, tangan saya tergores besi tajam –padahal ketika itu saya masih bayi- Ayah saya marah sejadinya kepada ibu saya, suatu hal yang tidak pernah dia lakukan, dan itu tidak pernah terulang lagi. Ayah saya juga pernah menangis di pelukan saya dan berkata “Bapak sayang sama kau, Inang. Ga pernah bapak benci sama kamu, sayang.”

Dimata kedua orang tua saya, saya adalah orang yang keras kepala dan mau berusaha keras untuk mencapai apa yang saya cita-citakan. Terkadang mereka justru khawatir ketika saya berkata akan hal-hal yang mungkin sulit untuk digapai, karena tempramen saya yang melankolis.

Dari semua kekurangan saya, yang terbesar adalah mudah terpengaruh oleh kritikan orang dan mengutarakan apa yang sebenarnya saya rasakan. Mulanya sulit bagi saya untuk mengatakan 3 kalimat ini bagi orangtua saya “Maaf, terimakasih dan aku sayang kalian.”

Dan untuk itulah saya menulis notes ini, agar semakin banyak yang tergerak untuk mengungkapkan 3 kalimat ini kepada orangtua kita.

Maaf
Ucapan maaf saya yang pertama kali adalah ketika saya melihat ibu saya hampir menangis, “Pi, kalau kamu ga nurut sama mama, sedih hati mama, sayang. Mama guru sekolah minggu, kerjanya mendidik anak-anak, apa kata orang kalo mama ga bisa ngurusin anaknya sendiri?”  Dalam suatu program keluarga, saya pernah mendengar bahwa ketika orangtua merasa dirinya telah gagal mengurusi anaknya, mereka kehilangan kepercayaan diri sebagai orangtua. Menguatkan tangan saya dan berusaha memeluknya erat saat itu sulit untuk dilakukan, tapi percayalah, Beliau menginginkan hal itu.

Terimakasih
Saya jarang sekali meminta akan suatu hal kepada kedua orangtua saya. Bagi saya, apa yang saya butuhkan telah dipenuhi oleh mereka dan mereka tahu benar apa yang saya butuhkan. Sehingga pada suatu saat, wajah saya menyiratkan kecemburuan atas pemberian mereka untuk ketiga adik saya dan saya tidak menerima suatu barang apapun. Sebetulnya itu bukan salah mereka, tapi karena memang saya tidak meminta apapun, padahal dalam hati saya berkata sekedar membawakan jajanan pun sudah menyenangkan hati saya. Saat itu saya langsung memilih tidur, kesal.

Paginya, ibu saya mendatangi saya, katanya “Ka, kenapa?” “ga kenapa-napa”. “Boong lah. Ayolah, kenapa ka? Kesel ga dibeliin apa-apa? Hahaha.” Terdiam, malu, tapi masih kesal dan menunggu ibu saya untuk berkata kemudian “makanya Ka, kalau mau apa-apa teh bilang, dan lagi kalo udah dikasih bilang makasih supaya Mama teh seneng ngasihnya dan ntar tanpa kamu minta mama kasih.”

Kita sadar bahwa memang orangtua menyadari betul apa yang kita inginkan. Tapi melihat bahwa faktanya orangtua menunggu kita mengambil kesempatan untuk meminta dan mengutarakan yang menjadi keinginan hati kita serta menunjukkan rasa terima kasih, menunjukkan bahwa otoritas orangtua nyata. Mereka menunggu kita meminta agar kita sadar bahwa mereka mempunyai kuasa untuk memberikan, bukan mencari kehormatan. Ketika saya mulai terbiasa untuk mengucapkan terima kasih, menguatkan batin saya dan mengembalikan taat itu pada tempatnya.

Aku sayang kalian
Di suatu tengah malam, saya pernah terbangun untuk pergi ke kamar mandi. Ketika saya melewati kamar orangtua saya, terdengar oleh saya mereka sedang berdoa. Nampaknya doa itu baru dimulai. Doa pertama dipimpin oleh ayah saya, karena memakai bahasa batak, saya pun kurang mengerti apa yang ayah saya doakan. Kemudian saya memilih untuk duduk di depan kamar mereka, ikut berdoa dari luar. Tibalah saat ibu saya yang berdoa, kali ini saya dapat menangkap apa yang mereka doakan karena ibu saya memakai bahasa Indonesia.

Topik yang pertama didoakan adalah ayah saya, kesehatan yang buruk saat itu dan agar beliau dapat dimampukan untuk mencari nafkah dan dimampukan untuk menjadi kepala keluarga. Kemudian yang kedua didoakan adalah kami, anak-anaknya. Secara umum mereka berdoa untuk kami, kesehatan kami, semua kegiatan sekolah kami dan apa yang kami cita-citakan dan agar mereka dapat mendidik kami sesuai jalanNya. Yang kemudian membuat saya tertegun ketika mereka berdoa secara khusus untuk saya. Mereka berdoa agar saya bisa menjadi teladan yang baik bagi adik-adik saya, agar saya dikuatkan dalam menjalani kehidupan saya, membawa nama baik keluarga (saat itu saya dalam kondisi sangat tertekan dengan kehidupan sekolah SMA). Terharu, saya menggedor pintu mereka dan berkata bahwa saya ingin berdoa bersama-sama dengan mereka.

Selesai berdoa, dorongan kuat itu muncul dan akhirnya meruak ke permukaan. Pertama saya memeluk ibu saya dan berkata “devi sayang Mama” dan beralih kepada ayah saya “devi juga sayang Bapak”.

Tidak perlu melihat bukti bahwa kita begitu dicintai oleh mereka, karena setiap nafas yang mereka hembuskan, mereka bernafas untuk anak-anaknya. Tidak ada yang lebih mereka inginkan dari pada sekedar melihat suatu saat anaknya bisa melakukan hal yang lebih baik dari yang mereka telah perjuangkan. Selain kekuatan utama yang datangnya dari Tuhan, kekuatan terbesar lainnya ialah ketika melihat anak-anaknya, kesadaran bahwa mereka harus tetap berjuang.

“Ka, kamu nangis, 10 kali lipat batin kami terluka. Kamu lulus, apapun itu, jiwa kami yang melompat 10 kali lebih girang.”

Bersyukur saya diingatkan kembali akan hal ini…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesiaku

Hikmat