Indonesiaku

Kekalahan lain berarti kekecewaan lain bagiku atas nama Indonesia. Begitulah yang aku rasakan ketika dimana aku mengikuti perkembangan Indonesia dalam satu bidang, mendetil bahkan, ketika Indonesia kalah lagi. Berharap pada suatu hal yang entah kadar kemurniannya. Aku punya segudang alasan untuk kecewa, sampai mau mati rasanya (baca: memaki-maki sampai puas). Hukum, politik, olahraga, seni, teknologi, pendidikan, bagian mana yang cukup memuaskan bagiku? rasanya tidak ada. Rasanya ingin sekali mengumpat kemerdekaan pada tahun 1945, karena bagiku tidak ada perubahan. Aku mudah tergugah dengan pemberitaan-pemberitaan yang kadang dilebih-lebihkan oleh media massa, sekali lagi; itu menurutku.

Pemimpin dan pejabat tinggi, tidak tahukah bahwa bagi keluargaku berat untuk hidup di jaman ini? Tidak tahukah mereka akan tetanggaku, sahabatku, menikmati pekerjaannya di jalanan itu? Tidak tahukah mereka bahwa harga minyak tanah mahal? Sampai kami harus mengerutkan kening sepanjang perjalanan pulang-pergi ke warung depan? tidak tahukah mereka betapa kami ini, para rakyat kecil, sangat benci para koruptor? Tidak tahukah bahwa aku memandang sinis kakek saya yang terus-terusan bangga terhadap pemerintah ini? Tidakkah ada hati mereka bagi para korban HAM? Tidak tahukah bahwa aku begitu kecewa, marah, serta sesak karena pendidikan tidak pernah berpihak padaku?

Bahkan, liat ke kanan dan kiri, tidak ada yang tersisa. Semuanya senang atas kondisi ini, atau mungkin juga aku? “Mba, ngapain ngelamun? Lagi ngelamunin Negara ya?” pertanyaan yang lagi nge-trend mungkin saat ini. Begitu rusakkah Negara saat ini? Tidak adakah yang bisa dipertahankan? Aku cinta negeriku. Apa alasannya ya? Mungkin karena aku menaruh pengharapanku disini.

Birokrasi dan aturan nampaknya begitu mudah terlihat dari mereka, kelas atas. Aku kesal terhadap mereka, para mahasiswa sekarang. Tahu apa sih mereka tentang kerasnya hidup? Oh ya, mereka tahu caranya untuk berkomunikasi dengan para pejabat, itu keras, dan aku tersenyum getir. Pernah terbersit olehku untuk tidak sekolah. Buat apa? Jadi rentenir jahat saja cukup, banyak uang, tidak perlu sekolah. Toh bukankah mereka melakukan hal yang sama nantinya? Lagipula, pejabat bidang pendidikan itu tidak pernah berpihak pada kami, sekolah pinggiran.

Sampai kemudian aku berada pada titik dimana aku muak mendengar berita, menutup telinga atas informasi. Semuanya menyesakkan dadaku. Kupandang tubuh renta nenek dan kakekku, “kalian enak”, pikirku. Ya, aku berkata demikian karena aku beranggapan mereka tidak perlu lagi tahu akan kerasnya mencari pekerjaan di jaman ini, betapa akan sangat sulitnya kehidupanku kelak.

Pagi itu, saat perjalananku ke sekolah, tertegun melihat peluh ayah dan ibuku. Kepolosan tukang becak dan pedagang nasi kuning, raut muka mereka menyiratkan semuanya tentang kerasnya hidup tapi tersirat juga bahwa mereka harus bertahan. Tubuh anak jalanan itu basah kuyup oleh hujan, kata-kata kasar sekaligus senyum mengembang terlihat dari wajah mereka ketika sahabatnya datang. Tetapi lihatlah, setelah dia menerima uang receh dari laki-laki setengah baya disana, dia menuju ke tempat yang lain sambil menahan tubuhnya yang menggigil. Apa aku ini? kenapa aku mau meneteskan air mata ketika melihat semuanya di depan mataku? Negara ini yang tidak adil.
Sahabatku memilih menjadi TKI dibanding kuliah, sahabatku yang lain sulit sekali untuk membayar biaya sekolah sekalipun ia sangat cerdas. Menyemangati mereka rasanya percuma, karena aku tidak punya semangat lagi. Di otakku penuh dengan kata-kata kritikan. Seolah-olah jika ada reporter yang menanyaiku tentang Indonesia sebagai rakyat kecil, akan kupenuhi catatannya dengan kekecewaan.

Tapi lihatlah semuanya sekali lagi, batinku. Pedagang nasi dan tukang becak itu begitu yakin atas kapabilitas mereka menjamu pelanggannya. Anak jalanan itu berubah raut mukanya dan keningnya berkerut. L aki-laki setengah baya itu membawa sebungkus roti harga seribuan untuk anaknya yang masih perlu susu. Kakekku masih membanggakan Indonesia, guratan-guratan di wajah nenekku menggambarkan antusiasnya terhadap berita-berita tentang hukum dan politik.

Sedang aku? Akulah mahasiswa yang kuumpat barusan. Akulah generasi yang dikhawatirkan menjadi koruptor. Aku lebih suka menonton acara musik baru, dibanding mengenang lagu-lagu di TVRI bahkan hanya untuk sesekali. Ternyata akulah yang lebih suka memasang status facebook atas kekecewaanku atas Indonesia. Ternyata akulah yang berjualan di warung depan, berjualan minyak mahal. Ternyata akulah yang mengatasnamakan rakyat kecil. Aku yang tidak tahu bagaimana kerasnya hidup mereka, ternyata aku hanya berargumen sepanjang hari. Aku mengklaim tahu masalah yang terjadi, tapi pernahkah aku terlibat? Tidak, ternyata aku lebih nyaman begini, mengamati dan berkomentar.

 Ya, begitu kompleksnya pandangan yang bisa kita lihat sepanjang hari tentang kehidupan. Dari mata fisikmu saja, kau tidak bisa mengklaim seseorang, bahkan pemimpin Negara ini. Memangnya kita tahu apa tentang perasaannya? Memangnya kita tahu sejauh apa para pejabat mendalami suatu masalah dalam negeri ini dan membuat keputusan-keputusan? Rantai kehidupan macam apa yang dijalani para koruptor? Kehidupan para reporter pencari berita? Batin dan masalah pribadi para pekerja kasar? Harapan yang tak pernah terungkapkan oleh orangtuaku? Arti dibalik kekaguman nenek dan kakekku atas Bangsa ini? Aku, bagiku, aku tidak tahu apa-apa tentang semua hal itu, yang kutahu adalah semua yang berkaitan denganku. Semua yang ada dan dibiarkan terjadi dalam kehidupan kita, niatnya adalah membawa kita pada pilihan, dan yang mampu melihat kemurnian tindakan kita hanyalah Yang Kuasa.

Ah, tapi sudahlah, tak perlu dibahas lebih lanjut mengenai masalah yang hanya membuat otakku bekerja lebih kompleks tanpa satu kepastian. Masalahnya sekarang adalah, apakah aku benar-benar mencintai negeri ini? Bagaimana jika perspektifku diubah saja, Negara ini yang menaruh harapan pada generasi kami, bukan sebaliknya? Nampaknya itu lebih baik, dengan begitu aku bukan menjadi pendengar saja tapi pelaku. Menarik dan menggigit bibirku yang ingin tersenyum sinis dan mulai belajar lagi nampaknya lebih baik nilai-nilaiku. Mulai menghirup nafas panjang ketika menonton berita nampaknya lebih baik bagi kesehatanku. Berpikir positif nampaknya juga bagus untuk perkembangan emosionalku. Menangkap sisa semangat mereka, yang terluka, dan meyakinkan mereka bahwa semangat itu masih terlihat olehku ternyata lebih menyenangkan.

Mendengar dengan kedua telinga, dan memberi mulutku setengahnya bukanlah ide yang buruk. Ya, karena setengahnya kukunci untuk kritikan yang tak beralasan kuat. Memperhatikan kerutan-kerutan di wajah seseorang ternyata mengubah imanku, menjadi lebih sering berdoa. Berdoa bagi Indonesia. Ah, tapi belum bisa dibilang Indonesia, hanya sebagian kecil –sangat kecil-  tapi tak apalah, itu kontribusi yang bisa kulakukan saat ini, karena setiap detik begitu berarti. Apapun yang kulakukan, kuharap selalu dimurnikan dari segala motivasi menyimpang. Meresponi pertanyaan “Apakah kau mau tergabung dalam master plan ini?” dengan satu anggukan pasti. Dan satu hal yang kuketahui, entah sejak kapan, aku bangga dan selalu ingin menjadi bagian dari Indonesia, seutuhnya aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hikmat

3 hal tersulit yang harus dikatakan