Postingan

Senja di Bandung dan Cerita Cinta

Tahun 2013. Malam ini banyak bintang, tidak akan hujan kalau begini,  ulang ingatanku akan percakapan kami –aku dan tante- 13 tahun yang lalu. Ketika aku melangkah melewati teras yang basah, aku sadar tadi sore aku belum mengepel lantainya. Tadi sore hujan yang sendu sangat tepat menggambarkan Bandung yang kusuka; bias hujan, lembab, air yang tertinggal di pucuk, dan entah bagaimana aku menyebutnya, fenomena yang absurd. Satu-satunya hal yang sampai saat ini belum jelas statusnya adalah udara yang dingin, entah aku menyukainya atau menyeganinya. Tahun 2008. “ Terserahmu, aku tidak ada urusannya dengan ini, tentang kalian berdua” begitu katanya, dan tak kusangka hatiku begitu sabar mendengarnya. Bukan dengan tatapan kosong yang kemudian tersenyum, sebaliknya aku menerawang. Selesai sampai disini, kupikir. Aku percaya mudah untuk menguburkan ingatan karena aku akan tinggal di kota lain. Ketika pikiranku kembali ke tiga hari yang lalu, masih kuingat jelas ia menari di ten

Indonesiaku

Kekalahan lain berarti kekecewaan lain bagiku atas nama Indonesia. Begitulah yang aku rasakan ketika dimana aku mengikuti perkembangan Indonesia dalam satu bidang, mendetil bahkan, ketika Indonesia kalah lagi. Berharap pada suatu hal yang entah kadar kemurniannya. Aku punya segudang alasan untuk kecewa, sampai mau mati rasanya (baca: memaki-maki sampai puas). Hukum, politik, olahraga, seni, teknologi, pendidikan, bagian mana yang cukup memuaskan bagiku? rasanya tidak ada. Rasanya ingin sekali mengumpat kemerdekaan pada tahun 1945, karena bagiku tidak ada perubahan . Aku mudah tergugah dengan pemberitaan-pemberitaan yang kadang dilebih-lebihkan oleh media massa, sekali lagi; itu menurutku. Pemimpin dan pejabat tinggi, tidak tahukah bahwa bagi keluargaku berat untuk hidup di jaman ini? Tidak tahukah mereka akan tetanggaku, sahabatku, menikmati pekerjaannya di jalanan itu? Tidak tahukah mereka bahwa harga minyak tanah mahal? Sampai kami harus mengerutkan kening sepanjang pe

Haurgeulis, next destination (part I)

3 tahun lebih hidup di desa itu, banyak hal yang pantas direnungkan Sekolah hanyalah formalitas, orangtua mereka kaya                 Di desa ini, sekolah menengah atas (SMA), hanyalah formalitas bagi orangtua yang memiliki sawah banyak. Ya, hampir semua orangtua yang menyekolahkan anak mereka sampai pada tahap ini memiliki sebidang sawah. Mereka menyekolahkan anak mereka karena orang bilang mereka mampu. Memang, ada saja orangtua yang berkeyakinan lain, bahwa anaknya bukanlah aset pribadinya, namun subjek yang mampu meraih cita-citanya kelak. Jadi, jika ada orangtua yang tidak memiliki sawah namun menyekolahkan anaknya ke SMA, ada hal lain di benaknya, melawan arus mungkin.                  Bahkan, ada hal lain yang menggugah hatiku. Sekalipun orangtua mereka kaya, tak jarang para orangtua mengijinkan bahkan menyuruh anaknya menjadi “ayam” kampung. Bahkan mereka kadang bangga ketika anak mereka laku sebagai “bebek.” Kenapa harus “bebek” namany

For my Mom and Dad (2)

Another story to go.. Beberapa hari di liburan saya, mengurus suatu rumah tangga dalam 1 minggu lebih itulah yang saya kerjakan. Bukannya telah menikah dan bertanggung jawab atas satu keluarga yang saya bangun, akan tetapi Cuma simulasi sederhana. Jadi, saya ditinggal bersama kedua adik saya oleh kedua orangtua untuk pulang ke kampung ayah saya. Walaupun hanya beberapa hari, banyak hal yang dapat saya petik dari sini, dari suatu keluarga dengan kompleksitas hak dan kewajibannya. Mengenai posisi saya untuk sementara waktu ini, saya tidak bisa menjelaskannya begitu tepat. Tapi, yang saya tahu adalah saya seorang kakak perempuan yang memilki tanggung jawab atas kedua orang adik saya. Mengurusi soal makanan dan kebersihan rumah, itulah yang menjadi fokus saya di waktu pagi dan keselamatan rumah -dan kami tentunya- di waktu malam.  Dari semua yang saya jalani, ada hal yang bagi saya menarik untuk dijadikan pelajaran. Ketika rumah tangga itu mengakui dan menjadikan Kristus sebagai kepalan

TUHAN Maha Kudus

Kembali saya tertegun atas khotbah pendeta hari ini, diambil dari Yesaya 6:1-13, bercerita tentang Yesaya yang dipanggil oleh Allah dan tugas yang diberikan kepadanya. Dari perikop ini, yang mau saya tekankan adalah ayat 3, begini firman TUHAN semesta alam:   Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemulian-Nya!” Saya tertegun sejenak dalam ruang besar itu, betapa saya selama ini tidak sadar akan ketidak-pedulian saya akan betapa besar dan megahnya TUHAN semesta alam itu, betapa kudusnya Ia di tempat maha tinggi, akan tetapi memiliki kasih karunia yang mampu menyelamatkan semua umat manusia. Seraphim dan Malaikat-malaikat ALLAH lain di surga tahu benar bagaimana cara memuji dan menyembah Dia di tempat kudusNya, memiliki ketaatan dan takut akan Dia. Sedang saya, disini, terdiam dan kadang terlupa bahkan menaikkan syukur atas hari yang Ia berikan. Kudus