Hikmat
Mmm, dimulai dengan alokasi waktu yang sangat jarang saya lakukan, yaitu: memikirkan apa yang menjadi dasar utama seorang teman memiliki konsep berpikir yang berbeda dengan saya? Kenapa hal yang saya anggap ideal terkadang tidak logis bagi orang lain dan sebaliknya? Kenapa urutan berpikir saya dan orang lain berbeda? Mengapa karakter yang diubahkan lewat pendewasaan secara detilnya mengalami spesifikasi bagi tiap orang?
Berpikir bahwa diri kita lebih baik dalam menyelesaikan masalah karena kita menganggap diri memiliki metoda paling baik dan terkadang secara tidak sadar memaksakannya kepada orang lain seringkali menjadi tuntutan bagi kebanyakan orang, termasuk saya tentunya. Hal ini menjadi beban pikiran saya untuk beberapa waktu –hahaha, hal yang sebenarnya tidak penting untuk dilakukan- akan tetapi, bagi saya itu penting, karena bagi saya, itu membuka kotak-kotak yang telah tersekat sebelumnya dalam akal saya.
Oh ya, sekedar catatan saja sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menjelaskan saja kenapa di tulisan saya ini menggunakan banyak bahasa yang bagi saya sendiri rumit, –atau mungkin ngga? Haha- itu semua hanya kelabilan saya sebagai seorang melankolis? Loh ko bisa? Lanjutkan lagi.
Menjadi dewasa secara rohani dan berbuah atasnya pastinya menjadi kerinduan bagi setiap pribadi. Doa, saat teduh, pembacaan Firman adalah hal yang kita lakukan untuk mendapatkan hikmat dari pada-Nya. Ya, bagi saya itu merupakan salah satu kebenaran yang Tuhan sering tunjukkan pada saya. Saya suka sekali akan ayat ini: Permulaan hikmat ialah takut akan Tuhan.
Saya seringkali menemukan diri saya lalu berpikir ketika ada teman yang berkata: “Kenapa sih ko kamu gitu?” atau “Salah, bukan kaya gitu” atau “Kenapa kamu ga mikirnya gini aja.” Saya percaya bahwa sebagian besar mahasiswa ITB adalah orang-orang yang idealis, memiliki sudut pandang yang jika ditelusuri memiliki tujuan yang benar (di sudut pandang manusia tentunya). Saya juga seringkali berlaku demikian, dan apabila saya yang dijadikan subyek, saya akan berusaha keras memegang prinsip.
Akan tetapi belakangan, ketika saya dinasihati, diberi masukkan, ditegur dan orang lain berusaha mengatakan yang menjadi pandangannya pada saya, saya lebih banyak diam, berpikir “Kenapa dia berpikir seperti itu?” Saya rasa saya menemukan jawaban untuk yang menjadi pemikiran saya saat ini, yaitu: Allah bekerja pada masing-masing orang dan menaruhkan pengalaman rohani kepada setiap orang dengan berbeda, sehingga pola pikir yang setiap orang bangun untuk dirinya berbeda. Untuk itulah, menaruhkan segalanya setiap hari, setiap waktu padaNya menjadi sangat penting, agar kita sehati, sepikir dan setujuan dalam Kristus. Tuhan terlebih tahu apa yang pertama kali harus diubahkan pada seseorang dibanding dirinya sendiri. Misalnya, ada yang berkata pada saya “Kalau saya, saya mau lihat orang lain sadar dengan apa yang dia lakukan dengan kehidupan saya yang tidak seperti itu” atau justru yang lain bilang “langsung kasih tau aja kalau dia salah, siapa tau dia tidak sadar” mm, keduanya memiliki alasan yang benar.
Dan akhir-akhir ini saya merasa –entah ini telat, entah ini orang lain pikirkan juga atau tidak- bahwa Firman yang kita pegang, kita tekuni, kita baca dan kita dalami meneguhkan kita apapun situasinya, sehingga menurut saya juga bahwa kompleksnya Firman juga tidak dapat terselami oleh manusia, bahwa setiap Firman merupakan hal yang begitu megahnya ketika itu diungkapkan melalui kedatangan-Nya yang kedua kali. Menemukan pada akhirnya bahwa setiap ayat menjelaskan setiap fenomena, bahkan yang belum pernah kita lihat, diizinkan Tuhan bekerja berbeda bagi tiap orang sesuai dengan rencanaNya.
Jadi, ketika kita melihat bahwa sudut pandang kita benar dan memandangnya baik untuk orang lain juga, apakah memang hal itu yang Dia inginkan kita untuk sampaikan? Bukankah yang Dia mau, kita menjadi alat untuk menyatakan FirmanNya? Apakah pantas kita menaruh pandangan kita yang kita anggap benar karena sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku untuk manusia dan mungkin secara tidak sadar mengacaukan Firman itu sendiri? Saya juga belum seutuhnya melakukannya, tapi menjadi duduk, diam, taat dan mendengar Firman itu diperlukan juga bantuan Roh Kudus. Mm, mungkin masalahnya ialah maukah saya dan anda memberi hati dan berdoa agar meminta dikuatkan untuk mendengar Firman, diberi hikmat dan kuasa untuk melakukannya serta memberitakannya sesuai dengan kehendakNya?
Saya bersyukur atas ayat ini:
“Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai.” (Yak 3:17-18)
Dan tentunya, renungan ini mengubahkan saya akhir-akhir ini, ^^v
Jesus loves you,,
Berpikir bahwa diri kita lebih baik dalam menyelesaikan masalah karena kita menganggap diri memiliki metoda paling baik dan terkadang secara tidak sadar memaksakannya kepada orang lain seringkali menjadi tuntutan bagi kebanyakan orang, termasuk saya tentunya. Hal ini menjadi beban pikiran saya untuk beberapa waktu –hahaha, hal yang sebenarnya tidak penting untuk dilakukan- akan tetapi, bagi saya itu penting, karena bagi saya, itu membuka kotak-kotak yang telah tersekat sebelumnya dalam akal saya.
Oh ya, sekedar catatan saja sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menjelaskan saja kenapa di tulisan saya ini menggunakan banyak bahasa yang bagi saya sendiri rumit, –atau mungkin ngga? Haha- itu semua hanya kelabilan saya sebagai seorang melankolis? Loh ko bisa? Lanjutkan lagi.
Menjadi dewasa secara rohani dan berbuah atasnya pastinya menjadi kerinduan bagi setiap pribadi. Doa, saat teduh, pembacaan Firman adalah hal yang kita lakukan untuk mendapatkan hikmat dari pada-Nya. Ya, bagi saya itu merupakan salah satu kebenaran yang Tuhan sering tunjukkan pada saya. Saya suka sekali akan ayat ini: Permulaan hikmat ialah takut akan Tuhan.
Saya seringkali menemukan diri saya lalu berpikir ketika ada teman yang berkata: “Kenapa sih ko kamu gitu?” atau “Salah, bukan kaya gitu” atau “Kenapa kamu ga mikirnya gini aja.” Saya percaya bahwa sebagian besar mahasiswa ITB adalah orang-orang yang idealis, memiliki sudut pandang yang jika ditelusuri memiliki tujuan yang benar (di sudut pandang manusia tentunya). Saya juga seringkali berlaku demikian, dan apabila saya yang dijadikan subyek, saya akan berusaha keras memegang prinsip.
Akan tetapi belakangan, ketika saya dinasihati, diberi masukkan, ditegur dan orang lain berusaha mengatakan yang menjadi pandangannya pada saya, saya lebih banyak diam, berpikir “Kenapa dia berpikir seperti itu?” Saya rasa saya menemukan jawaban untuk yang menjadi pemikiran saya saat ini, yaitu: Allah bekerja pada masing-masing orang dan menaruhkan pengalaman rohani kepada setiap orang dengan berbeda, sehingga pola pikir yang setiap orang bangun untuk dirinya berbeda. Untuk itulah, menaruhkan segalanya setiap hari, setiap waktu padaNya menjadi sangat penting, agar kita sehati, sepikir dan setujuan dalam Kristus. Tuhan terlebih tahu apa yang pertama kali harus diubahkan pada seseorang dibanding dirinya sendiri. Misalnya, ada yang berkata pada saya “Kalau saya, saya mau lihat orang lain sadar dengan apa yang dia lakukan dengan kehidupan saya yang tidak seperti itu” atau justru yang lain bilang “langsung kasih tau aja kalau dia salah, siapa tau dia tidak sadar” mm, keduanya memiliki alasan yang benar.
Dan akhir-akhir ini saya merasa –entah ini telat, entah ini orang lain pikirkan juga atau tidak- bahwa Firman yang kita pegang, kita tekuni, kita baca dan kita dalami meneguhkan kita apapun situasinya, sehingga menurut saya juga bahwa kompleksnya Firman juga tidak dapat terselami oleh manusia, bahwa setiap Firman merupakan hal yang begitu megahnya ketika itu diungkapkan melalui kedatangan-Nya yang kedua kali. Menemukan pada akhirnya bahwa setiap ayat menjelaskan setiap fenomena, bahkan yang belum pernah kita lihat, diizinkan Tuhan bekerja berbeda bagi tiap orang sesuai dengan rencanaNya.
Jadi, ketika kita melihat bahwa sudut pandang kita benar dan memandangnya baik untuk orang lain juga, apakah memang hal itu yang Dia inginkan kita untuk sampaikan? Bukankah yang Dia mau, kita menjadi alat untuk menyatakan FirmanNya? Apakah pantas kita menaruh pandangan kita yang kita anggap benar karena sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku untuk manusia dan mungkin secara tidak sadar mengacaukan Firman itu sendiri? Saya juga belum seutuhnya melakukannya, tapi menjadi duduk, diam, taat dan mendengar Firman itu diperlukan juga bantuan Roh Kudus. Mm, mungkin masalahnya ialah maukah saya dan anda memberi hati dan berdoa agar meminta dikuatkan untuk mendengar Firman, diberi hikmat dan kuasa untuk melakukannya serta memberitakannya sesuai dengan kehendakNya?
Saya bersyukur atas ayat ini:
“Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai.” (Yak 3:17-18)
Dan tentunya, renungan ini mengubahkan saya akhir-akhir ini, ^^v
Jesus loves you,,
Komentar
Posting Komentar