Haurgeulis, next destination (part I)


3 tahun lebih hidup di desa itu, banyak hal yang pantas direnungkan

Sekolah hanyalah formalitas, orangtua mereka kaya

                Di desa ini, sekolah menengah atas (SMA), hanyalah formalitas bagi orangtua yang memiliki sawah banyak. Ya, hampir semua orangtua yang menyekolahkan anak mereka sampai pada tahap ini memiliki sebidang sawah. Mereka menyekolahkan anak mereka karena orang bilang mereka mampu. Memang, ada saja orangtua yang berkeyakinan lain, bahwa anaknya bukanlah aset pribadinya, namun subjek yang mampu meraih cita-citanya kelak. Jadi, jika ada orangtua yang tidak memiliki sawah namun menyekolahkan anaknya ke SMA, ada hal lain di benaknya, melawan arus mungkin. 

                Bahkan, ada hal lain yang menggugah hatiku. Sekalipun orangtua mereka kaya, tak jarang para orangtua mengijinkan bahkan menyuruh anaknya menjadi “ayam” kampung. Bahkan mereka kadang bangga ketika anak mereka laku sebagai “bebek.” Kenapa harus “bebek” namanya? Ya, pernah ada tetangga yang bilang pada ibuku “Wah, Tante mah enak ya, bebeknya ada 4. Cantik-cantik semua lagi.” Sontak ibuku marah dan raut wajahnya berubah, namun urung untuk berkata. Tetanggaku yang menyadari ketidaksopanannya (atau kepolosannya?) lalu meminta maaf. Ya, ibuku tidak perlu apa-apa, dia sudah mengambil sikap jauh sebelum aku dilahirkan pastinya untuk tinggal di kawasan ini, dimana hal seperti itu tidak tabu untuk dibicarakan.

                Pernah aku kaget mendengar gosip bahwa 6 bulan setelah Ujian Nasional, salah satu sahabatku melahirkan. How come? Perasaan, dia dulu tidak pernah bertingkah yang aneh-aneh, bahkan dalam olimpiade matematika se-kabupaten, dia masuk 10 besar. Tapi, ternyata benar, dia memang melahirkan dan menikah sebelum hari persalinannya. Whoa, jadi ketika UN berlangsung, dia sudah hamil 3 bulan? Oh My. Dan ternyata, dia melakukan itu semua demi keluarganya. Dengan menikahi lelaki itu, hidupnya pasti terjamin, begitu pikir keluarganya. Dia pun diizinkan untuk tinggal bersama lelaki itu (yang masih sekolah juga) di rumah mereka.

                “Neng, (anggaplah namanya demikian) ayo belajar buat olimpiade tahun depan bareng-bareng. Ayo, kita pasti bisa masuk ITB bareng,” begitu yang selalu kuucapkan padanya. Tapi, Neng selalu saja tersenyum kuat, seakan menyimpan sesuatu. “Hahaha, iya, Devi mah pasti bisa. Semangat.” Aku tersenyum lebar “Kita.” Sekalipun dia menyadari bahwa dirinya pintar, ternyata harapan itu telah ia kubur jauh-jauh, kuliah di jurusan matematika. Tak jarang kutemui diriku kagum akan pengetahuannya dalam memecahkan soal-soal sulit itu. Tapi, senyum yang ternyata kudapati ketika dia menunjukkan solusi dari soal-soal matematika itu hanya lah ilusi sesaat. Tak bertahan lama.

............................................................................................................

“Dev, mau denger radio bikinan aku ga?” begitu tanya seorang sahabat lelakiku. Kami sekelas untuk 3 tahun, dan menurutku dia adalah seorang teknisi yang luar biasa hebat. Aku juga pernah kaget karena menemukan buku sejarahku yang dipinjam olehnya, ditulisi sebuah puisi (yang ini ga nyambung :D)

                “Aa (anggap lagi itu namanya), ko kamu hebat banget sih, jago fisika, belajar otodidak elektronika, maen gitarnya jago lagi. Oh ya, satu lagi, ganteng. Hahaha, rencananya mau kuliah dimana abis ini (sekolah)?” begitu tanyaku ketika kami dipasangkan untuk mengikuti sebuah lomba karya ilmiah. Kami (dia sih lebih tepatnya), membuat alat pengaman pada brankas besi dengan sensor cahaya. Haha, sampai sekarang pun aku tidak bisa merangkaikan peralatan listrik itu.

                “Depi, depi. Kita mah bli bisa mengarep singkaya konon. Lara ati bisa-bisa dadine,” yang artinya: “Saya ga akan pernah bisa punya harapan seperti itu. Sakit hati jadinya.” Aku yang bingung mendengar kata-kata itu terus saja berusaha untuk menyemangati, merayunya untuk melanjutkan kuliah. Bagaimana tidak? Aku percaya pada kemampuannya. Dia juga masuk 10 besar olimpiade fisika se-Kabupaten, sudah bisa menciptakan radio sederhana dan handphone yang di-stel untuk mematikan lampu rumah dalam jarak beberapa kilometer sejak dia masih SMP. Belum lagi, setumpuk prestasinya di bidang musik, sekalipun hanya sekecamatan. Dia memilki potensi.

(cont)
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesiaku

Hikmat

3 hal tersulit yang harus dikatakan