Senja di Bandung dan Cerita Cinta

Tahun 2013.

Malam ini banyak bintang, tidak akan hujan kalau begini,  ulang ingatanku akan percakapan kami –aku dan tante- 13 tahun yang lalu. Ketika aku melangkah melewati teras yang basah, aku sadar tadi sore aku belum mengepel lantainya. Tadi sore hujan yang sendu sangat tepat menggambarkan Bandung yang kusuka; bias hujan, lembab, air yang tertinggal di pucuk, dan entah bagaimana aku menyebutnya, fenomena yang absurd. Satu-satunya hal yang sampai saat ini belum jelas statusnya adalah udara yang dingin, entah aku menyukainya atau menyeganinya.

Tahun 2008.

Terserahmu, aku tidak ada urusannya dengan ini, tentang kalian berdua” begitu katanya, dan tak kusangka hatiku begitu sabar mendengarnya. Bukan dengan tatapan kosong yang kemudian tersenyum, sebaliknya aku menerawang. Selesai sampai disini, kupikir. Aku percaya mudah untuk menguburkan ingatan karena aku akan tinggal di kota lain.

Ketika pikiranku kembali ke tiga hari yang lalu, masih kuingat jelas ia menari di tengah hujan. Such an amazing streetdancer. Aku tak tahu ia berlatih untuk apa atau siapa, yang jelas aku bisa melihatnya jelas lewat jendela perpustakaan ini, lewat jendela yang berembun sore ini. Fokusku teralih, buku tidak tampak menarik lagi, ada yang jauh lebih menarik. Dia sosok yang tinggi, makin tersadar aku, perwakannya yang cukup kurus membuatnya dipanggil “si cungkring.” Aku tersenyum mengingat salah satu temanku memanggilnya begitu, karena bagiku tidak tampak seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku pernah menamai salah satu pohon paling tinggi dan ramping di sekolah dengan namanya. Ketika aku mulai terbawa lamunanku saat menatapnya di balik jendela, senyumnya sudah terarah kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman paling tulus, lalu kembali lagi ke kursiku.

Esoknya adalah hari yang kutunggu karena inilah satu-satunya kelas yang bisa kuhadiri dengannya, kelas agama. Dasar insting perempuan, teman-temanku, selalu mengatur agar kami bisa duduk sebangku. Walaupun begitu, dia mungkin lebih memilih duduk di belakangku kalau bisa karena dengan cara itu dia bisa sepuasnya menjahiliku. Ingatku kembali lagi ke tahun lalu di kelas yang sama, saat pertama kali ia meniup lembut rambutku sampai ke tengkuk leher. Sesudahnya, sesudah pipiku merah padam barulah ia puas dan sekuatnya menahan tawa di tengah kelas yang membosankan.

Kesukaannya adalah membuatku kesal kurasa, dengan cara yang kusuka. Suatu kali di tahun pertama, hampir saja aku tersedak karena ia tiba-tiba duduk disampingku di kantin. Tanpa ada satupun yang bisa diajak bicara selain aku, dia berkata “aku paling ga suka sih sama cewek yang banyak makan.” Kali ini aku benar-benar tersedak, dan kembali gesture favoritku, caranya menahan tawa. Oh ya, aku memang anak bandel dan seringkali ke kantin di jam pelajaran. Saat itu juga adalah jam pelajaran, jadi teringat aku akan kelasnya, mungkinkah tak ada pelajaran?

Kemarin kelas kami disatukan untuk pelajaran bahasa Inggris karena satu dan lain alasan. Saat itu kami diberi tugas bersama, dan seperti biasa aku buru-buru menamatkannya supaya aku bebas di satu jam sisanya. Sewaktu aku bersiap pergi, kusetujui permintaan temanku dari kelompoknya untuk melihat jawabanku. Dan sesampainya di jalan taman favoritku, aku melupakan sweater yang membuatku kembali ke kelas. Disitulah mulanya, ketika buku diary-ku mereka baca, ia dan teman-teman kami dari dua kelas. Segala macam ekspresi ada disana, dan ternyata setelah kuingat kembali, semuanya laki-laki. Mereka dari kelasnya menyorakinya sedang dari kelasku menatapku aneh. Satu ekspresi yang paling tidak bisa kulupakan adalah sikap yang rancu, bimbang dan sedikit tersipu karena ucapan sekitarnya.

“Heh, kalian baca diary orang sembarangan. Ga sopan, balikin” ucapku datar. Kembali ku bertanya, “siapa yang ambil dari tasku?” dan secara serentak mereka menunjuk sahabatku. Kutarik napas dalam dan mengambil diaryku dari tangan orang yang bertugas membacanya. Dua kali kejadian ini terulang, pikirku, apa yang mereka inginkan? Setelah hari itu, aku tak pernah melihatnya menari, tertawa padaku, meniup rambutku, dan berkata mengesalkan. Pernah juga kulihatnya duduk di dekat jalan rumahku, termenung. Aku melewatinya dengan duduk di jok belakang motor ayahku, yang jadi rutinitas kami karena ketatnya aturan ayah tentang pergaulan.

Tahun 2009.
“Aku tidak menyampaikan ini padamu, dia menunggumu waktu itu, waktu kami membacanya. Mungkin untuk waktu yang lama.” Begitu kata salah seorang sahabat yang ikut membaca diary-ku. Hatiku sudah tawar, aku hanya tersenyum sebisanya, ooh.

Tahun 2010.
“Aku tidak mengatakannya sesuai pesananmu waktu itu, tapi jawabannya sama persis dengan yang kusampaikan padamu,” cerita sahabat yang lain, yang mengambil diaryku dari tempatnya. Ooh. Hatiku sudah semakin tawar saat itu, berusaha untuk tidak berargumen.

Tahun 2011.
“Dulu kami tidak suka padanya, tidak ada yang baik yang dapat kami lihat darinya. Kau pantas untuk dapat seorang yang lebih baik.” Aku hanya tersenyum getir, “semuanya sudah berlalu, jangan pikirkan itu.” Adakah yang lebih baik dari itu?

Tahun 2012.
“Hey, kita bertemu lagi. Oh ya, mau kutunjukkan sesuatu?” begitu ucap sahabatku yang lain. Dua buah surat, puisinya (aku mengingat tulisan sahabatku ini) dan surat dari seorang yang lain. “Ingat, dulu puisi ini yang pernah kutulis buatmu.” Ya, aku mengingatnya. Saat itu aku lalu menonjok ringan bahu sahabatku dan berkata “jangan bercanda.”

Dan ketika aku lihat surat kecil yang satunya, sungguh sangat dia yang kukenal baik, beberapa kata saja dalam satu kalimat: “Aku tidak tahu bahwa kau juga menyukaiku, aku senang. Aku mau membicarakan tentang kita. Pulang sekolah kutunggu di taman favoritmu.  Oh ya, suruh pulang saja penjaga-penjagamu itu. Cuma hari ini saja.”

 Terpaku melihat ini semua, akhirnya bisa juga aku menatap kosong. Dadaku tercekat, seolah udara tidak bisa mengalir baik di dalamnya. Kuulang membacanya, kata-kata itu tidak berubah. Satu-satunya fakta yang bisa kupercaya adalah kertasnya yang sudah terlipat lama dan menguning, namun tetap rapi karena sudah lama terselip.

“Kenapa?” kuperlihatkan surat itu padanya, tak sadar aku  telah menggigit bibirku untuk menahan air mata yang mungkin akan jatuh. Setelah aku sadar, aku melakukannya bukan hanya menahan tangis, tapi juga menahan berbagai emosi yang dulu mengiringiku. Sahabatku hanya tersenyum ringan “Oh, aku lupa aku dititipinya saat itu. Ah sudahlah, dia tidak baik untukmu. Tak ada lebihnya, kecuali tingginya”. Ia terkekeh, “lagipula dia akhirnya juga mengakuinya pada kami, bahwa dia merasa tidak pantas denganmu.” Kali ini benar-benar cukup, aku tidak mau mendengarnya.

….

Aku berkata pada diriku, “kalian tidak pernah melihatnya menari, karena hanya kami berdua di sore itu, di sekolah itu.” Dan ingatan itu kembali muncul, aku hanya menatap kosong.

Hari ini.

Aku suka hujan di sore hari, membuatku mengingatnya yang sedang menari dan menahan tawa. Kemudian, malamnya aku dapat menulis diary, seperti di kota itu beberapa tahun yang lalu. Namun saat ini akan kutulis di komputer. Kutulis supaya ceritanya berjejak, tidak seperti cerita cinta ini yang tidak berjejak. Hal yang mereka tidak tahu adalah aku masih suka menulis tentangnya, dan kalau bisa aku ingin menangis, walaupun hanya sekali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesiaku

Hikmat

3 hal tersulit yang harus dikatakan