For my Mom and Dad (2)

Another story to go..

Beberapa hari di liburan saya, mengurus suatu rumah tangga dalam 1 minggu lebih itulah yang saya kerjakan. Bukannya telah menikah dan bertanggung jawab atas satu keluarga yang saya bangun, akan tetapi Cuma simulasi sederhana. Jadi, saya ditinggal bersama kedua adik saya oleh kedua orangtua untuk pulang ke kampung ayah saya. Walaupun hanya beberapa hari, banyak hal yang dapat saya petik dari sini, dari suatu keluarga dengan kompleksitas hak dan kewajibannya.

Mengenai posisi saya untuk sementara waktu ini, saya tidak bisa menjelaskannya begitu tepat. Tapi, yang saya tahu adalah saya seorang kakak perempuan yang memilki tanggung jawab atas kedua orang adik saya. Mengurusi soal makanan dan kebersihan rumah, itulah yang menjadi fokus saya di waktu pagi dan keselamatan rumah -dan kami tentunya- di waktu malam. 

Dari semua yang saya jalani, ada hal yang bagi saya menarik untuk dijadikan pelajaran. Ketika rumah tangga itu mengakui dan menjadikan Kristus sebagai kepalanya.

Pertama, saya baru sadar bahwa anak-anak menyita sampai hampir 80% (bahkan lebih) pikiran orangtua. Bukan sekedar melengkapi setiap kewajiban mereka dan hak anak-anak mereka, lebih dari itu, memberikan suatu perasaan mental yang meliputi kenyamanan, rasa aman, rasa dihargai, dan resah atas setiap respon yang mungkin diberikan anak mereka atas tindakan yang mereka lakukan untuk mempertahankan suatu keluarga juga menjadi bagian dari hidup mereka. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulit dan bosannya hal itu tanpa kasih.

Kedua, mereka sanggup melakukan apa yang mereka tidak sukai untuk melakukan apa yang mereka anggap dapat membuat kondisi semakin baik, sekalipun seringkali dengan cara yang salah. Senyum kita dan harapan kita –sekecil apapun itu- menjadi semangat bagi mereka untuk melangkah mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Mencoba melihat ke kedalaman hati dan pikiran kita selalu dilakukan, sekalipun mereka tidak tahu sampai sejauh mana dan arah yang benar di dalam benak kita. Hmm, saya kira ada emosi yang berkecambuk ketika mereka sama sekali buta arah atas apa yang kita pikirkan. Entah itu gelisah sampai akhirnya buntu, entah itu rasa kekecewaan atas ketidakmampuan mereka untuk mengerti anaknya, saya tidak tahu. Yang jelas, yang saya tahu, ketika saya berdoa atas cita-cita saya, mereka telah memikirkannya beberapa langkah lebih jauh dan berdoa jauh lebih lantang dari yang saya lakukan.

Ketiga, mereka mempertahankan otoritas, bukan tembong penghalang. Sekalipun pada dasarnya, setiap manusia suka akan kuasa dan otoritas, rasa yang ada untuk kita bukanlah otoritas untuk menekan. Bukan  mereka yang membangun otoritas itu pada dasarnya, tapi karena kuasa yang diberikan Tuhan kepada mereka, untuk membentuk pribadi kita. Kalau banyak kasus yang terlihat adalah orangtua justru keras dalam memperlihatkan kuasa mereka, pasti ada hal yang mempengaruhi mental mereka untuk berlaku demikian, tapi ketahuilah itu semua karena mereka anggap baik.

Keempat, rasa marah yang mereka tunjukkan ketika kita berbuat salah sebagiannya adalah rasa marah mereka atas dirinya sendiri. Janji pada waktu baptis air yang mereka ucapkan, sadar atau tidak pasti membuat mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupan rohani anaknya. Ketika kita tertekan atas rasa bersalah kepada orangtua dan Tuhan tentunya, mereka tertekan karena: 1. Terbesit rasa kepercayaan diri retak di hadapan Tuhan 2. Apa komunikasi selama ini yang saya bangun salah? 3. Bagaimana cara hidup saya di hadapan anak-anak saya? 4. Apa yang harus saya lakukan ke depan untuk mengajarnya? –yang seringkali diliputi emosi- 5. Saya harus membesarkan hatinya , barulah alasan yang selanjutnya adalah kecewa maupun marah atas kesalahan anaknya. Bahkan, mungkin alasan untuk tertekan atas dirinya sendiri lebih banyak daripada yang saya paparkan. Dan, saya yakin mengampuni kesalahan kita keluarnya lebih cepat dari kata maaf itu sendiri, jika kasih mereka berasal dari Allah, yang adalah kasih.

Kelima, mereka mampu begitu memilki kasih yang besar terhadap anak-anaknya hanya jika mereka menerima kasih yang berasal dari sungai kasih Kristus. Mereka mampu melakukan hal-hal diatas ketika mereka berserah kepada Tuhan dan menaruhkan pengharapannya hanya diatas mezbah Allah. Dan untuk yang terakhir ini, saya yakin ini mutlak kebenaran.

Jadi, apabila orangtua kita dimampukan untuk melakukan ini, bagaimana dengan Bapa kita yang di surga, sumber kuasa itu?

For you, the best Mom and Dad in Christ I ever had 
-Biarlah lanjut umurku di tanah yang Engkau berikan padaku, biarlah aku mengingat ini, ya ALLAH-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesiaku

Hikmat

3 hal tersulit yang harus dikatakan