Bahan Renungan Saya
Saya seringkali ingin menulis, tapi ternyata tidak jadi dan tiba-tiba tersendat. Umumnya ketika menulis, hambatan utama saya adalah pikiran-pikiran yang mengatakan bahwa saya tidak bisa menulis seperti ini dan seperti itu karena saya pun masih melakukan hal yang sama.
Tapi satu hal lain yang dikatakan ialah : Permulaan hikmat ialah takut akan Tuhan, ayat yang benar-benar saya sukai semenjak saya menyadari bahwa bagi diri saya sendiri, saya tidak akan sanggup menjalani kehidupan saya yang sekarang. Bagi saya, begitupun dengan menulis dan berkata-kata. Saya tidak tahu sampai mana kata-kata dan pikiran saya berdampak bagi orang lain. Tapi justru yang menjadi masalah lain adalah saya lantas kemudian berpikiran untuk bagaimana orang lain benar-benar mendengarkan saya.
Saya pernah tertegun ketika salah seorang berkata: yang penting, kita jangan memberi dari bejana yang kosong. Menganalisa setiap perkataan dan jalan pikiran orang pun jadi hal yang utama yang sering saya pikirkan.
Kembali lagi ke masalah awal saya: menyeimbangkan antara pikiran dan perbuatan adalah hal yang sulit. Tapi seperti perempuan Sirofenisia yang lalu percaya dan menyatakan Yesus untuk kotanya, satu hal yang penting: Roh Kuduslah yang memampukan dan Kasih menutupi segala sesuatu. Sekali lagi ini bukan pembenaran, tapi ketika saat-saat terdekat kita dengan Bapa dapat kita bagikan dan berdoa bagi yang mendengar, seremeh apapun dan sekecil apapun, yang Tuhan kehendaki ialah dengan kerendahan hati kita, kita memuliakan Dia.
(Bagian yang ini tolong dikoreksi, takut salah)
Kita takkan pernah mampu meninggikan Bapa dihadapan orang lain, kita tak dapat membela Dia dengan kekuatan kita. Dialah yang mau mengangkat kita untuk melihat masalah-masalah, hal-hal teknis yang kita gumulkan, gunjingan-gunjingan orang, tak perlu kita cari cara bagaimana caranya sampai ke tangan Bapa. Cukup angkat tanganmu tinggi-tinggi dan berkata sekuat-kuatnya dengan seluruh kerendahan hati : “Angkat aku dari sini Bapa, aku benar-benar rindu untuk melihat kebesaranMu” Penyembahan membuatNya terlihat sangat besar dengan ukuran yang sebenarNya.
Saya pernah mendengar kesaksian sesorang yang baru mengikut Kristus dan menyatakan imannya kepada orang lain. Dia berkata seperti ini ketika temannya bertanya kenapa sekarang dia selalu bersukacita: “Mungkin saya baru kenal Tuhan Yesus dan baru mengikuti Dia, saya ga tau banyak akan Alkitab. Tapi yang jelas, kata pendeta Dia mengasihi saya dan Dia mengenal saya. Bagi saya itu cukup. Entah kenapa tiap hari jadinya saya selalu senang”. Dan Puji Tuhan, temannyapun mengenal Kristus
Hal-hal seperti inilah yang patut kita jadikan tolak ukur: tidak perlu ragu menyatakan kasihNya, sekalipun kita merasa bahwa kita tidak berdoa selama orang lain dan merasa tidak layak untuk membagikan Firman Tuhan. Setiap orang memiliki bagiannya dalam pekerjaan Tuhan, setia terasa menjadi hal sulit. Akan tetapi, saya percaya bahwa Allah lebih menghargai orang yang merasa dirinya kosong dan mau dibentuk, agar kemulianNya dinyatakan.
Hati seperti anak –analogi yang sangat tepat- yang diinginkan seorang Bapa, ketika Dia rindu agar kita mendekat padaNya. Seorang anak memiliki posisi yang istimewa, dan Puji Tuhan kita dilayakkan untuk sampai ke posisi itu. Seorang anak tidak perlu malu ataupun mencari cara-cara dengan pikiran sendiri menyenangkan Bapanya, cukup tanyakan kepada Bapanya apa yang menjadi kehendakNya.
Berdoa supaya Roh Kuduslah yang memberikan hati seperti hatiNya,
Praise the Lord
Gbu all.
Komentar
Posting Komentar